Tugas
Ilmu Budaya Dasar
Contoh Studi Kasus Bab III Manusia dalam Kesusastraan
Ilmu Budaya Dasar
Contoh Studi Kasus Bab III Manusia dalam Kesusastraan
Dosen: Annur Husnul Khotimah, SPsi.,MPsi
Disusun Oleh:
Jeffry (15214614)
Kelas: 1EA20
Disusun Oleh:
Jeffry (15214614)
Kelas: 1EA20
Fakultas Ekonomi
Jurusan Manajemen
Depok 2014
Jurusan Manajemen
Depok 2014
Peran Sastra dalam Kancah Pendidikan
Bangsa
Sastra sangat terkait erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu
sendiri. Sastra seperti pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek-robek
dada dan menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Pisau tajam ini juga
mampu menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan
yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling
halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada
kekuatannya.
Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting
dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Sastra berisi manusia dan
kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat dengan
kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah
kehidupan manusia.
Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia
ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda.
Sejarah menuliskan bagaiman sosok seorang Umar bin Khotob yang punya
kepribadian keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra
ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya
menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari algojo terkuat dan terkejam
sekalipun takkan sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan
kematian tidak sedikit pun membuatnya merinding ketakutan.
“Syair macam apa
yang kau baca itu?” Begitu tanya Umar saat pertama kali mendengar ayat-ayat
suci dari Tuhan Penguasa semesta. “Betapa indah dan agungnya kalimat di dalam
syair ini,” takjub Umar setelah membacanya. Ucapan Umar menunjukan bahwa hal
pertama yang membuatnyat tertarik pada Islam adalah keterpesonaannya terhadap
untaian tata bahasa Al-Qur’an yang begitu indah. Hanya syair dari Illahi inilah
yang mampu membuat air matanya mengalir deras. Hanya untaian kalimat indah di
dalam Al-Qur’an-lah yang sanggup membuatnya takluk dan tunduk serta merinding
ketakutan.
Kekuatan Sastra
Dalam Mendidik Bangsa
Sebelum Al-Qur’an turun, masyarakat jahiliyah negeri Arab memang sudah
dikenal sebagai masyarakat yang mengagungkan para penyair dengan untaian sastra
puisinya. Seperti yang dituliskan oleh Ibnu Rasyik dalam bukunya yang
berjudul “Umdah” bahwa para penyair memiliki pengaruh dan kedudukan
yang tinggi bagi bangsa Arab waktu itu. Bagi mereka seorang penyair merupakan
penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka.
Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair.
Sehingga sering kali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat
memberikan semangat dalam perjuangan dengan bayaran dan jabatan yang tinggi.
Ada pula yang menggunakan penyair sebagai perantara untuk mendamaikan
pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan
penyair untuk memintakan maaf dari seorang penguasa.
Sebuah karya puisi, pada bangsa Arab dahulu, sanggup mempengaruhi kondisi
masyarakat, bahkan mengubah sikap dan posisi seseorang atau sekelompok orang
terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan
demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.
Kehebatan sastra para penyair waktu itu hanya bisa ditandingi oleh keindahan
bahasa dari ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Rabbul izzati kepada Muhammad
SAW.
Betapa pentingnya sastra hingga Umar bin Khotob pun pernah mengingatkan,
“Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, maka kau sedang mengajarkan keberanian
pada mereka!” Betapa tinggi nilai essensial dari sastra hingga Anis Matta dalam
bukunya yang berjudul “Mencari Pahlawan Indonesia” mengajak pembacanya untuk
mempelajari dan mengajarkan sastra. Sastra mengajarkan keberanian, sastra
mengajarkan kelembutan, sastra mengajarkan keindahan, sastra mengajarkan
kepedulian.
Sungguh sangat
beralasan jika negara-negara maju sudah menjadikan sastra sebagai alat untuk
membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negara-negara maju sudah
menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati
pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata.
Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis,
Jerman, dan negara-negara maju lainnya, bahwa pendidikan sastra banyak
mempengarui moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan
antara siswa yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan
sastra hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian,
nge-drug, dan melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata
etika mereka dengan budi pekerti yang baik. Padahal remaja yang hidup di negara
maju tersebut merupakan remaja yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki
kebebasan yang tinggi.
Bicara tentang sastra, ada penelitian yang menarik. Bahwa, berdasarkan
hasil dari beberapa penelitian di luar negeri, menunjukan ternyata
berpuisi—sebagai salah satu bagian dari sastra—selain mampu memanajemen stress,
yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga
memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan
pernafasan. Sastra memang luar biasa!
Pendidikan Sastra
Kita
Lantas bagaimana dengan pendidikan sastra di negara kita? Sayangnya, sastra
di negara kita belum maksimal benar masuk ke ranah pendidikan. Terutama sastra
untuk pendidikan pelajar tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Pendidikan
sastra masih seperti untaian berlian yang belum terasah. Berlian yang masih
dianggap terlalu mahal, kalau tidak boleh disebut terpinggirkan, untuk
dinikmati keindahannya. Berlian itu terus tersimpan di etalase toko perhiasan
yang hanya bisa dilihat tanpa boleh menyentuhnya. Bahkan mungkin masih
tersimpan di dasar lautan yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang mau
berjuang menyelami samudera.
Sastra di negara kita masih seperti dianaktirikan oleh dunia pendidikan.
Pendidikan sastra secara formal masih menjadi salah satu materi yang diajarkan
di dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Pendidikan sastra seolah hanya menjadi
pelengkap dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra dianggap sebagai hafalan belaka.
Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat
karya Sutan Sati atau Tenggelamnya Vanderwijk karya Buya Hamka, dan
sebagainya karena mereka terpaksa atau bisa jadi dipaksa menghafal. Sebatas
tahu judul buku dan penulisnya, serta membaca sebagian kutipan yang ada di
salah satu halaman buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekedar berjaga-jaga
kalau keluar dalam soal ujian.
Ujungnya, sastra hanya berlabuh dalam aktivitas menghafal, mencatat, ujian
dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke
generasi. Sehingga minat terhadap dunia sastra benar-benar tak terlintas dalam
benak para pelajar. Pendidikan formal relatif sangat kecil dalam perannya
melahirkan sastrawan. Bisa dibilang, sastrawan, penyair, dan penulis-penulis
hebat besar di jalanan, bukan karena pendidikan sastra dari lingkungan formal.
Padahal kalau mau melihat lebih luas, ternyata karya-karya anak bangsa
justru banyak diapresiasi di luar negeri. Contohnya karya-karya Pramoedya
Ananta Toer dan Buya Hamka telah menjadi bacaan wajib di negara seperti
Malaysia, Cina, dan Belanda. Karya-karya mereka menjadi rujukan penting dalam
memahami dunia sastra. Jadi tidak sekedar menghafal penulis dan judul karyanya
saja, tapi mereka juga mengadakan kajian mendalam sehingga pelajar bisa
benar-benar menyelami nikmatnya sastra.
Kini sudah saatnya
dunia pendidikan tidak melihat sastra sebelah mata. Sastra bukan barang langka
yang hanya tersimpan di museum. Sastra bukan mahluk asing yang hanya
diperlakukan sebatas pengenalan dan penghafalan identitas. Dunia pendidikan di
negara kita harus sudah memisahkan sastra dari pelajaran Bahasa Indonesia,
mendalami sastra secara lebih luas, melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari
pendidikan formal dan memfungsikan dengan maksimal kekuatan sastra untuk
mendidik generasi dan kehidupan berbangsa.
Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan
wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif,
harmoni, irama, proporsi, dan sumbilmasi dalam setiap gerak kehidupan manusia
dalam menciptakan peradaban. Jika sastra tercerabut dari akar kehidupan
manusia, maka manusia tak lebih dari sekedar hewan berakal. Untuk itulah sastra
harus ada dan selalu harus diberadakan.
Kembali mengutip
bukunya Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar mereka berani
mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar
mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar
mereka berani menegakan kebenaran. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar
jiwa-jiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan keberanian.”
================
Artikel ditulis
Oleh Rahmat HM
Penulis,
Sastrawan, Wartawan, Dosen Jurnalistik UNPAK Bogor, Pengurus Forum
Lingkar Pena, Pendiri Forum Diskusi Lingkar Study Mindset Revolution
(LISMIR)
Opini:
Sastra merupakan suatu karya yang sangat berharga dalam
kehidupan manusia, karena dalam sastra banyak mengandung nilai-nilai moral dan
kehidupan yang memberikan banyak manfaat baik dalam segi ilmu pengetahuan
maupun manfaat nyata dari ilmu pengetahuan tersebut yang dapat dituangkan dalam
kehidupan nyata.
Namun di era seperti sekarang ini sastra semakin ditinggalkan
dan dilupakan, padahal pada masanya dulu karya sastra sangat berharga dan
bernilai tinggi. Seperti halnya Al’Quran, Al’Quran sangat besar perannya dalam
perkembangan Islam dan juga perkembangan serta kemajuan moral dan agama pada
kehidupan manusia. Dalam contoh nyata tersebut karya sastra sangat besar
nilainya dan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.
Sastra juga harus mulai diajari dan diperkenalkan kepada anak
bangsa sejak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, agar para generasi
muda bangsa dapat mengenal dan mencintai karya sastra Indonesia, dan juga agar
mereka dapat melestarikan karya sastra Indonesia tersebut. Di luar negeri,
karya sastra Indonesia sangat diapresiasi oleh masyarakat luar negeri, jika di
luar negeri saja di apresiasi, seharusnya di Indonesia pun lebih dihargai dan
dapat terus dlestarikan
Marilah kita lestarikan karya sastra Indonesia yang semakin
tenggelam dalam era modern seperti ini. Karya sastra adalah salah satu kekayaan
negara kita yang sangat besar manfaatnya, baik karya sastra seperti puisi,
prosa, roman dll. Dan juga para penulis
karya sastra tersebut seperti tokoh yang sangat terkenal dari Indonesia
yaitu Chairil Anwar. Marilah kita budayak karya sastra dalam kehidupan
berbangsa Indonesia.
Sumber:
http://bahasa.kompasiana.com/2011/10/25/peran-sastra-dalam-kancah-pendidikan-bangsa-406602.html
http://bahasa.kompasiana.com/2011/10/25/peran-sastra-dalam-kancah-pendidikan-bangsa-406602.html
0 komentar:
Posting Komentar