Senin, 20 Maret 2017

TUGAS SOFTSKILL ETIKA BISNIS

Model Etika dalam Bisnis, Sumber Nilai Etika dan Faktor-Faktor yang mempengaruhi Etika Manajerial

KELOMPOK 1
Agus Prasetio (10214503)
Aridha Istyana H (11214553)
Asri Agustin (11214746)
Jeffry (15214614)
Yekti Djatining Tyas (1C214377)

Kelas 3EA01



FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017


Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.
1.1  Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya. 

2.1 Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu:
a.       Manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas.
b.      Tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.

Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut: Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (social responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.
Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang “wajar” menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.

3.1 Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya.
Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rules) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.

4.1  Agama, filosofi, budaya, dan hukum etika bisnis/etika manajerial
4.2 Agama
Bermula dari buku Max Weber “The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism” menjadi tegak awal keyakinan orang adanya hubungan erat antara ajaran agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Etika sebagai ajaran baik-buruk, salah-benar, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Tiada keraguan dan tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Agama berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika yang di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula.

4.3  Filosofi
Salah satu sumber nilai-nilai etika yang juga menjadi acuan dalam pengambilan keputusan oleh manusia adalah ajaran-ajaran Filosofi. Ajaran filosofi tersebut bersumber dari ajaran-ajaran yang diwariskan atau yang sudah diajarkan dan berkembang lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ajaran ini sangat kompleks yang menjadi tradisi klasik yang bersumber dari berbagai pemikiran para filsuf-filsuf saat ini. Ajaran ini terus berkembang dari tahun ke tahun.
Di Negara barat, ajaran filosofi yang paling berkembang dimulai ketika zaman Yunani kuno pada abad ke-7 diantaranya Socrates (470 SM-399 SM). Socrates percaya bahwa manusia ada untuk suatu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya. Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur, dan bahwa kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang.

4.4  Budaya
Referensi penting lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan etika bisnis adalah pengalaman dan perkembangan budaya, baik budaya dari suatu bangsa maupun budaya yang bersumber dari berbagai negara. Budaya yang mengalami transisi akan melahirkan nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang diterima oleh suatu komunitas tertentu dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu kelompok atau suatu komunitas yang lebih besar. Budaya adalah suatu sistem nilai dan norma yang diberikan pada suatu kelompok atau komunitas manusia dan ketika itu disepakati atau disahkan bersama-sama sebagai landasan dalam kehidupan.

4.5  Hukum
Hukum adalah perangkat aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Hukum menentukan ekspektasi-ekspektasi etika yang diharapkan dalam komunitas dan mencoba mengatur serta mendorong pada perbaikan masalah-masalah yang dipandang buruk atau tidak baik dalam komunitas.
Pada umumnya para pebisnis akan lebih banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin etika mereka dalam melaksanakan aktivitasnya. Karena hukum dipandang sebagai suatu perangkat yang memiliki bentuk hukuman yang paling jelas dibandingkan sumber-sumber etika yang lain yang cenderung lebih pada hukuman yang bersifat abstrak seperti mendapat malu, dosa dan lain-lain.
5.1 Leadership
Kepemimpinan atau leadership dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang lain agar bekerjasama sesuai dengan rencana demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ada juga penjelasan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan memperoleh konsensus dan keikatan pada sasaran yang sama, melampaui syarat. Namun, yang paling hakiki dari leadership adalah leader yang driven dan passionate. Driven dalam artian berorientasi hasil dan mampu meyakinkan orang. Passionate dalam artian mampu menggerakkan orang-orang sehingga mereka mampu mencapai tujuan mereka.
Satu hal penting dalam penerapan etika bisnis di perusahaan adalah peran seorang pemimpin/leadership. Pemimpin menjadi pemegang kunci pelaksanaan yang senantiasa dilihat oleh seluruh karyawan. Di berbagai kondisi, saat krisis sekalipun, seorang pemimpin haruslah memiliki kinerja emosional & etika yang tinggi. Pada prakteknya, dibutuhkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual dari seorang pemimpin dalam penerapan etika bisnis ini.
Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah kepemimpinan yang beretika. Etika dalam berbisnis memberikan batasan akan apa yang yang sebaiknya dilakukan dan tidak. Pemimpin sebagai role model dalam penerapan etika bisnis, akan mampu mendorong karyawannya untuk terus berkembang sekaligus memotivasi agar kapabilitas karyawan teraktualisasi.
Seseorang yang belum mampu melakukan hal seperti diatas, dengan meninggalkan aspek otoriter maka mereka masih dikategorikan sebagai manajer.
Menurut Dr. Roeslan Abdulgani: Seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dalam 3 hal dari orang-orang yang dipimpinnya:
1.      Kelebihan dalam bidang ratio: Pemimpin harus memiliki pengetahuan tentang tujuan dan asas organisasi yang dipimpinnya. Memiliki pengetahuan tentang cara-cara untuk menjalankan organisasi secara efisien. Dan, dapat memberikan keyakinan kepada orang-orang yang dipimpin ke arah berhasilnya tujuan.

2.      Kelebihan dalam bidang rohaniah: Pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang memancarkan keluhuran budi, ketinggian moral, dan kesederhanaan watak.

3.      Kelebihan dalam bidang lahiriah/jasmaniah: Dengan kelebihan ketahanan jasmaniah ini seorang pemimpin akan mampu memberikan contoh semangat dan prestasi kerja sehari-hari yang baik kepada orang-orang yang dipimpin. Namun, terpenting, pemimpin tahu apa itu nilai-nilai kepemimpinan.
Kepemimpinan yang beretika menggabungkan antara pengambilan keputusan yang beretika dan perilaku yang beretika. Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan yang beretika dan berperilaku yang beretika pula. Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin yang beretika yaitu :
a.       Seorang pemimpin berperilaku sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tujuannya dan organisasi.
b.      Seorang pemimpin berlaku sedemikian rupa sehingga secara pribadi, dia merasa bangga akan perilakunya.
c.       Seorang pemimpin berperilaku dengan sabar dan penuh keyakinan akan keputusan yang diambilnya dan dirinya sendiri.
d.      Seorang pemimpin berperilaku dengan teguh. Ini berarti berperilaku secara etika sepanjang waktu, bukan hanya bila dia merasa nyaman untuk melakukannya.
e.       Seorang pemimpin etika, menurut Blanchard dan peale, memiliki ketangguhan untuk tetap pada tujuan dan mencapai apa yang dicita-citakannya.
f.        Seorang pemimpin berperilaku secara konsisten dengan apa yang benar-benar penting. Dengan kata lain dia tetap menjaga perspektif.
6.1 Strategi dan Performa Bisnis
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Fungsi yang penting dari sebuah manajemen adalah untuk kreatif dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan yang membuat perusahaannya mencapai tujuan perusahaan terutama dari sisi keuangan tanpa harus menodai aktivitas bisnisnya berbagai kompromi etika. Sebuah perusahaan yang jelek akan memiliki kesulitan besar untuk menyelaraskan target yang ingin dicapai perusahaannya dengan standar-standar etika. Karena keseluruhan strategi perusahaan yang disebut excellence harus bisa melaksanakan seluruh kebijakan-kebijakan perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan dengan cara yang jujur.
7.1 Karakter Individu
Faktor yang mempengaruhi etika manajerial salah satunya adalah karakter individu. Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat kaitannya dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.Karakteristik individu merupakan suatu proses psikologi yang mempengaruhi individu dalam memperoleh, mengkonsumsi serta menerima barang dan jasa serta pengalaman. Karakteristik individu merupakan faktor internal (interpersonal) yang menggerakan dan mempengaruhi perilaku individu. Perjalanan hidup suatu perusahaan tidak lain adalah karena peran banyak individu dalam menjalankan fungsi-fungsinya dalam perusahaan tersebut. Perilaku para individu ini tentu akan sangat mempengaruhi pada tindakan-tindakan mereka ditempat kerja atau dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Semua kualitas individu nantinya akan dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang diperoleh dari luar dan kemudian menjadi prinsip yang dijalani dalam kehidupannya dalam bentuk  perilaku.
 Faktor-faktor tersebut yang pertama adalah pengaruh budaya, pengaruh budaya ini adalah pengaruh nilai-nilai yang dianut dalam keluarganya. Yang  kedua, perilaku ini akan dipengaruhi oleh lingkunganya yang diciptakan di tempat kerjanya. Aturan ditempat kerja akan membimbing individu untuk menjalankan peranannya ditempat kerja. Faktor yang ketiga adalah berhubungan dengan lingkungan luar tempat dia hidup berupa kondisi politik dan hukum, serta pengaruh–pengaruh perubahan ekonomi. Moralitas seseorang juga ditentukan dengan aturan-aturan yang berlaku dan kondisi negara atau wilayah tempat tinggalnya saat ini. Semua faktor ini juga akan terkait dengan status individu  tersebut yang akan melekat pada diri individu tersebut yang terwuju dari tingkah lakunya.

8.1 Budaya Organisasi
Menurut Kotler (1997), budaya organisasi merupakan karakter suatu organisasi yang mencakup pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma bersama yang dianut oleh jajaran perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari cara karyawannya berpakaian, berbicara, melayani tamu dan pengaturan kantor
Menurut Mangkunegara (2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.
Budaya organisasi adalah suatu kumpulan nilai-nilai, norma-norma, ritual dan pola tingkah laku yang menjadi karakteristik suatu organisasi. Setiap budaya perusahaan akan memiliki dimensi etika yang didorong tidak hanya oleh kebijakan-kebijakan formal perusahaan, tapi juga karena kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang berkembang dalam organisasi perusahaan tersebut sehingga dipercayai sebagai suatu perilaku, yang bisa ditandai mana perilaku yang pantas dan mana yang tidak pantas.
Budaya-budaya perusahaan inilah yang membantu terbentuknya nilai dan moral ditempat kerja, juga moral yang dipakai untuk melayani para stakeholder nya. Aturan-aturan dalam perusahaan dapat dijadikan yang baik. Hal ini juga sangat terkait dengan visi dan misi perusahaan.
Banyak hal-hal lain yang bisa dijadikan contoh bentuk budaya dalam perusahaan. Ketika masuk dalam sebuah bank, misalnya, satpam bank selalu membukakan pintu untuk pengunjung dan selalu mengucapkan salam sambil menundukkan badannya, dan nilai-nilai sebagiannya. Ini juga budaya perusahaan, yang dijadikan kebiasaan sehari-hari perusahaan.
Budaya organisasi juga berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.

CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS



Selasa 10 Juni 2014, 19:19 WIB
Jakarta - Sekitar 50 calon jemaah haji yang mewakili 300 rekan mereka menduduki biro travel Koperasi Simpan Pinjam Multi Niaga (KSP MN) gara-gara tak kunjung diberangkatkan haji tahun ini. Padahal Ongkos Naik Haji (ONH) sudah dibayarkan sejak 2011. Namun, pemilik KSP MN Mubyl Handaling mengaku tak menerima uang itu. Waduh!

Oleh para calon jamaah haji, kasus ini sudah dilaporkan ke Mabes Polri. Menurut pengacara Mubyl Handaling, Irlan Superi, Polri sduah menetapkan satu tersangka, yakni direktur operasional RS. Sedangkan kliennya, Mubyl, hingga kini berstatus saksi.

"Hingga kini dalam proses hukumnya, Mubyl hanya menjadi saksi bukan tersangka. Lantaran tidak ada bukti aliran dana itu masuk ke Mubyl," kata Irlan usai menemui puluhan calon jemaah haji yang mengamuk di kantor KSP MN yang berada di kawasan niaga Kompleks Ruko Matraman, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Selasa (10/6/2014).

Posisi kliennya di KSP MN adalah komisaris utama, dan tidak tahu menahu tentang jemaah haji yang telantar. Irlan beralasan, operasional KSP MN sehari-hari dijalankan oleh RS.

"RS sendiri saat ini masih dalam pengejaran petugas. Klien saya juga sudah meminta RS untuk bertangung jawab," imbuhnya.

Ia mengatakan kliennya turut prihatin nasib calon jemaah haji yang terlantar. Jikapun mereka meminta uang dikembalikan, ia berharap jemaah bersabar.

"Pada dasarnya klien saya iba dengan calon jemaah haji, tapi tidak punya kemampuan untuk menjalankan kewajibannya. Sekarang ini dia sedang tidak memiliki dananya," ungkapnya.
Caleg Gagal

Koordinator calon jemaah haji, John Samsir, menduga uang dari ratusan calon jemaah haji ini digunakan Mubyl untuk kampanye Pileg 2014.

"Pemilik ini caleg gagal, kita baru tahu begitu 2 Februari 2014, spanduk dia banyak bertebaran. Kita menduga uang itu digunakan untuk dia kampanye," kata John.

John mengungkapkan modus yang digunakan Mubyl dengan janji bisa mempercepat naik haji dengan harga lebih murah. Hal ini dipercaya jemaah lantaran Mubyl dianggap memiliki kenalan.

"Ngakunya ada kenalan di Kemenag sehingga kami pun percaya. Setelah diusut ternyata perusahaan ini menggunakan stempel Kementerian Agama palsu," ungkap dia.

Namun tuduhan John dimentahkan oleh pengacara Mubyl, Irlan. "Tidak ada bukti aliran dana itu masuk ke Mubyl," kata Irlan.


ANALISIS KASUS
Travel haji dan umroh di Indonesia sudah sangat banyak dan cenderung mudah ditemukan, dari yang murah sampai yang mahal. Mudahnya membuat biro haji dan umroh di Indonesia serta mayoritas agama di Indonesia Islam membuat banyaknya oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan praktek-prakter kecurangan. Seperti dalam kasus ini, pemilik biro haji dan umroh ini tidak bisa menepati janjinya untuk memberangkatkan haji para calon haji yang sudah mendaftar dan membayar untuk bisa pergi haji ke Arab Saudi. Pemilik biro haji ini terus mengalihkan ketika ditagih janjinya untuk menaikkan haji para kliennya ini.
Dalam kasus ini terdapat prinsip-prinsip yang dilanggar didalamnya seperti:
1.      Pelanggaran prinsip kejujuran: dalam kasus ini prinsip kejujuran telah dilanggar karena pemilik biro haji tersebut tidak menepati janjinya untuk memberangkat haji para nasabahnya sesuai dengan tanggal perjanjian dan cenderung menghindar saat ditagih dan dimintai klarifikasi dan juga cenderung seperti menutupi kesalahan akibat menggunakan uang dari nasabahnya tersebut.
2.      Pelanggaran prinsip Keadilan: Keadilan disini adalah sama-sama menerima keuntungan dan tidak ada yang dirugikan. Para calon haji membayar dan mengikuti persyaratan dari biro haji untuk dapat diberangkatkan haji begitu pula pemilik biro haji juga harus dapat memberikan jasanya untuk memberangkan haji paran calon kliennya.
3.      Pelanggaran Prinsip integritas Moral: dalam kasus ini nama perusahaan yang sudah susah payah dibangun, harus dirusak dalam waktu sekejap akibat ulah dari orang yang ada di dalam biro haji tersebut yang terindikasi kecurangan memakai uang para nasabahnya untuk kampanye pemilihan Caleg.
Kasus seperti penipuan biro haji ini seharusnya tidak boleh terulang kembali karena, orang yang ingin naik haji memerlukan uang yang tidak sedikit dan tidak jarang mereka sudah menabungnya selama bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun.
Saran untuk Penyelesaian Kasus
Untuk kedepannya agar pemerintah lebih memperketat syarat-syarat pendirian suatu biro haji dan umroh agar meminimalisir kecurangan yang dilakukan oleh para pemilik maupun para pekerja didalamnya. Selain itu untuk para calon haji yang hendak mendaftar alangkah baiknya agar selalu mencari tempat-tempat biro haji dan umroh yang sudah terakreditasi baik dan carilah tempat biro haji dan umroh yang memberikan harga normal dan jangan tergiur dengan harga murah yang tidak wajar. Dan untuk para pelaku kecurangan dan penipuan dalam bisnis biro haji dan umroh seperti ini sudah seharusnya diberikan hukuman dan sanksi yang lebih tegas agar kedepannya tidak ada kasus seperti ini lagi.

DAFTAR PUSTAKA








1 komentar: